Sinergi Kegiatan Surveilans dan PengendalianTikus Di Wilayah Tahun 2021
Penyakit yang ditularkan oleh binatang pembawa penyakit atau yang yang disebut juga sebagai zoonosis masih menjadi masalah di Indonesia. Penyakit tersebut antara lain leptospirosis, flu burung, rabies, antraks, dan pes. Binatang pembawa penyakit yang berperan dalam penularan/penyebaran penyakit tersebut antara lain tikus (rodent), unggas,anjing, sapi, dll. Indonesia merupakan daerah tropis yang memiliki keanekaragaman vektor dan binatang pembawa penyakit berdasarkan zoogeographical antara oriental dan area australia. Salah satu binatang pembawa penyakit yang menjadi kegiatan surveilan ini adalah tikus yang membawa penyakit leptospirosis. Sampai saat ini, terdapat 160 spesies tikus di Indonesia, hingga saat ini telah dilaporkan 9 spesies diketahui sebagai reservoir penyakit tular langsung ke manusia, seperti Leptospirosis dan Hanta virus. Tikus juga telah dilaporkan sejak lama sebagai hospes perantara penyakit pes di Indonesia. Kesembilan spesies itu adalah Bandicota indica (wirok besar), Bandicota bengalensis (wirok kecil), Rattus norvegicus (tikus riul), Rattus tanezumi (tikus rumah), Rattus tiomanicus (tikus pohon), Rattus argentiventer (tikus sawah), Rattus exulans (tikus ladang), Mus musculus (mencit rumah) dan Mus caroli (mencit ladang).
Leptospirosis adalah penyakit zoonosa yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Leptospirosis disebabkan oleh infeksi bakteri genus Leptospira yang dapat menyerang hewan dan manusia, yang ditularkan melalui urine tikus. Leptospirosis ditularkan melalui kontak dengan air, lumpur, tanaman yang telah dicemari oleh urine tikus. Berdasarkan pasal 4 Permenkes RI No. 1501/Menkes/PerX/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya, Leptospirosis termasuk penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah. Gejala klinis leptospirosis ditandai dengan adanya demam, nyeri kepala, nyeri otot, khususnya di daerah betis, paha, dalam keadaan berat diikuti dengan adanya ikterik, serta adanya tanda-tanda kegagalan ginjal.
Pada Tahun 2019, Kementerian Kesehatan melaporkan kasus leptospirosis sebanyak 920 kasus, dengan kematian 122 kasus (CFR 13,3%) tersebar di 9 Provinsi. Provinsi yang melaporkan kasus leptospirosis adalah Jawa Tengah, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Maluku, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Utara. Khususnya di Jawa Tengah kasus leptospirosis sampai dengan semester I bulan Juni tahun 2020 sebanyak 346 kasus dengan kematin sebanyak 45 orang (Dinkes Prov. Jawa Tengah 2020). Sedangkan di Kabupaten Demak kasus leptospirosis telah menyebar di 12 wilayah kecamatan dari 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Demak, Menurut data di Dinas Kabupaten Demak pada tahun 2019 terdapat penderita sebanyak 80 orang dengan kematian 18 orang, (19% penderita berada di kecamatan Bonang) sedangkan pada tahun 2020 sebanyak 105 dengan kematian 12 orang, sebanyak 14% penderita ada di kecamatan Bonang dan terjadi peningkatan dari tahun 2016 sampai dengan 2021.
Data penderita leptospirosis per kecamatan di Kabupaten Demak yang tertinggi yaitu di Kecamatan Bonang dan Wedung dengan masing-masing kasus leptospirosis sebanyak 16 penderita pada tahun 2020. Pada tahun 2021 sampai dengan bulan Februari terdapat 2 kasus Leptospirosis yaitu di Kecamatan Demak dan Kecamatan Sayung masing-masing satu kasus (Dinkes Kab. Demak 2021). Sedangkan di Puskesmas Bonang I kasus tertinggi di Desa Gebang dan Tridonorejo dengan masing-masing 6 kasus dan di Desa Tlogoboyo dengan 4 kasus leptospirosis.
Leptospirosis masih menjadi ancaman bagi kesehatan masyarakat yang dapat
menyebabkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) yang berkaitan dengan keberadaan
faktor risiko yaitu tingginya populasi tikus (rodent) sebagai reservoar leptospirosis. Beberapa penyebab masih adanya KLB penyakit leptospirosis di Indonesia adalah sebagian besar pasien leptospirosis datang ke rumah sakit dalam keadaan terlambat, masih rendahnya sensitivitas kemampuan petugas kesehatan dasar dalam mendiagnosis leptospirosis, terbatasnya fasilitas pemeriksaan laboratorium, kurangnya surveilans tikus serta managemen dan pelaporan yang belum baik.
Surveilans sentinel kepadatan tikus dan deteksi leptospirosis pada tikus merupakan hal penting dalam pencegahan dan pengendalian leptospirosis. Surveilans ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan populasi tikus, deteksi bakteri leptospira pada tikus, melakukan analisis data dan penyusunan rekomendasi dalam rangka pengendalian tikus dan pencegahan penyakit leptospirosis.
Surveilans sentinel tikus bertujuan untuk mendapatkan baseline data penyakit yang ditularkan oleh tikus yaitu leptospirosis. Kegiatan untuk menekan populasi tikus tersebut dapat dilakukan dengan berbagai upaya pengendalian secara non kimia maupun kimia. Konfirmasi agen penyakit pada tikus sangat penting untuk menentukan teknik pengendalian tikus secara efektif dan efisien.
Dari gambaran di atas upaya memutuskan penularan penyakit zoonosis memerlukan kegiatan surveilans bukan hanya surveilans kasus pada manusia, tetapi juga surveilans kasus pada binatang pembawa penyakit, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar dalam membuat kebijakan pengendalian penyakit zoonosis yang tepat guna dan tepat sasaran. Upaya membangun suatu sistem surveilans binatang pembawa penyakit bukanlah hal yang mudah, hal ini karena memerlukan kerjasama dan komitmen dari beberapa sektor terkait, seperti pertanian dan kehutanan. Selain itu juga memerlukan kerjasama dan komitmen dari pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, juga dari unit pelayanan teknis Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit di daerah, yaitu Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP), dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BTKL-PP). Kegiatan surveilans binatang pembawa penyakit akan dimulai dari surveilans rodent (tikus) sebagai factor resiko penularan leptospirosis. Pengumpulan data adalah dengan melaksanakan penangkapan tikus di beberapa kabupaten/kota endemis leptospirosis. Terhadap tikus yang tertangkap akan dilakukan identifikasi species dan pembedahan untuk isolasi bakteri pathogen dan juga pemeriksaan serologis di laboratorium.
A. Kegiatan surveilans kepadatan tikus dan deteksi leptospirosis yang telah dilaksanakan adalah:
1.Koordinasi Koordinasi dilakukan melalui pertemuan zoom meeting dengan topic Kegiatan Surveilans Sentinel Tikus tanggal 19 Februari 2021. Koordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Demak dan Koordinasi dengan Puskesmas Bonang I.
2.Pemaparan hasil kegiatan Surveilan Sentinel Kepadatan Tikus dan Deteksi Leptospirosis tahun 2020. Penyampaian hasil kegiatan Surveilans Sentinel Kepadatan Tikus dan Deteksi leptospirosis dilakukan di Puskesmas Bonang I.
3.Diskusi Pelaksanaan diskusi mengenai rencana pelaksaan kegiatan oleh tim dan mengevaluasi perangkap yang telah rusak untuk diganti dengan yang baru dan pembuatan peta dengan melakukan pencatatan titik koordinat setiap rumah yang dipasang perangkap.
4.Pemasangan Perangkap Pemasangan perangkap dilaksanakan di tiga desa yaitu Desa Gebang, Tlogoboyo dan Tridonorejo dengan waktu pelaksanaan pemasangan sebanyak 2 kali (dua malam)
5.Preparasi Tikus Preparasi tikus dilakuan berupa On Job Training (OJT) kepada petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Demak dan Puskesmas Bonang I dengan tahapan berupa mengeluarkan tikus dari perangkap, anastesi tikus, pengambilan darah tikus, penyisiran pinjal tikus, identifikasi berupa pengukuran dan penimbangan, pembedahan tikus untuk diambil ginjal tikusnya, pengepakan sampel dan pengiriman sampel.
6.Laporan sementara hasil kegiatan Hasil sementara kegiatan disampaikan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Demak dan kepala Puskesmas Bonang I.
Hasil yang dicapai pada Kegiatan pelaksanaan surveilans dan pengendalian tikus di Kabupaten Demak yaitu penentuan lokasi sentinel, kepadatan tikus, tipe habitat perkembangbiakan tikus, keragaman spesies tikus, dan Kepadatan Pinjal, sedangkan Angka Infeksi Tikus yang dilakukan uji dengan PCR tidak dapat segera dilakukan menunggu pengujian Covid-19 selesai.
1. Lokasi pemasangan Perangkap
Loksi kegiatan ditentukan berdasarkan kelanjutan kegiatan sentinel surveilans dan deteksi leptospirosis pada bulan September tahun 2020 yaitu di Desa Gebang, Desa Tlogoboyo dan Desa Tridonorejo wilayah kerja Puskesmas Bonang I, Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah. Di tiga lokasi Desa tersebut di pasang perangkap masing-masing desa sebanyak 50 perangkap (25 perangkap dipasang di dalam rumah dan 25 perangkap di luar rumah).
Berdasarkan gambar diatas dapat dilihat bahwa pemasangan perangkap tikus mengelompok di satu pedukuhan setiap desanya.
Pada gambar diatas terlihat pada masing-masing desa, perangkap yang di pasang positip tikus di tiga desa yaitu Desa Gebang sebanyak 11 rumah, Desa Tlogoboyo sebanyak 9 rumah dan Desa Tridonorejo sebanyak 12 rumah.
2. Analisis Data Kepadatan Tikus
Analisis data kepadatan tikus dihitung menggunakan success trap. Success trap di tiga desa tahun 2020 – 2021 yaitu Desa Gebang, Desa Tlogoboyo dan Desa Tridonorejo dapat dilihat pada table berikut.
Dari table di atas terlihat rata-rata kepadatan tikus 11 %. Dari data angka kepadatan tikus menggunakan success trap menunjukan bahwa ke tiga desa mempunyai factor risiko tinggi terhadap penularan leptospirosis jika nilai success trap tinggi yaitu >1 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 tahun 2017 tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan Dan Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor Dan Binatang Pembawa Penyakit Serta Pengendaliannya.
Demikian pula tipe perkembang biakan berdasarkan hasil success trap di dalam dan di luar rumah menujukan hasil >1 mempunyai factor risiko tinggi terhadap penularan leptospirosis. Tipe perkembang biakan di luar rumah berupa perkampungan yang dikelilingi oleh persawahan, sehingga didapatkan jenis tikus Ratus novegicus dan Ratus tanezumi, Bandicota indica dan hewan carnivora Suncus murinus (Clurut)
3. Analisis Data Habitat Perkembangbiakan Tikus
Analisis data habitat perkembanbiakan tikus berdasarkan hasil perangkap positip tikus yang dipasang terbanyak di dalam rumah pada ke tiga desa, hal ini dapat disebabkan oleh banyak factor antara lain jenis umpan yang digunakan pada kegiatan kali ini menggunakan dua jenis umpan dimana pada hari pertama menggunakan kelapa bakar dan hari ke dua menggunakan jagung manis. Adapun tipe habitat perkembangbiakan di dalam rumah dan di luar rumah dapat di lihat pada gambar di bawah ini
4. Analisis keragaman spesies tikus
Pada Tabel 3 menunjukkan angka keragaman spesies tikus Desa Gebang, Desa Tlogoboyo dan Desa Tridonorejo wilayah kerja Puskesmas Bonang I Kabupaten Demak Provinsi Jawa Tengah di dominansi oleh jenis Ratus tanezumi dan Ratus norvegicus.
Dari table diatas terlihat bahwa di tiga desa yaitu Desa Gebang, Desa Tlogoboyo dan Desa Tridonorejo jenis terbanyak yaitu tikus jenis Ratus tanezumi atau tikus rumah dibandingkan dengan jenis yang lain. Hal ini dimungkinkan karena penangkapan tikus dilakukan di lingkungan pemukiman. Rattus tanezumi merupakan tikus domestik yang umum ditemukan hidup berdekatan dengan manusia dan hidupnya tergantung dari tempat tinggal manusia misalnya untuk persediaan makanan, air, sarang dan ruang gerak. Sebagai hewan domestik jenis tikus tersebut memainkan peran utama penularan leptospirosis ke manusia bila dibandingkan dengan jenis tikus yang lain.
5. Analisis Data Kepadatan Pinjal
Dari hasil penangkapan tikus dilakukan penyisiran pinjal dan dilakukan identifikasi di Laboratorium Entomologi dan Pengendalian Vektor Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Yogyakarta. Hasil identifikasi dan kepadatan pinjal di lokasi kegiatan adalah sebagai berikut.
Dari table diatas terlihat penurunan indeks Pinjal Khusus (IPK) Xenopsylla cheopis dari tahun sebelumnya di tiga desa lokasi kegiatan. Tetapi di Desa Tlogoboyo mempunyai faktor risiko tinggi terhadap penyakit yang ditularkan oleh pinjal karena melebihi baku mutu nilai indeks pinjal khusus (IPK) yaitu >1. Sedangkan di Desa Gebang dan Desa tridonorejo mempunyai faktor risiko rendah terhadap penyakit yang ditularkan oleh pinjal dengan nilai IPK 1. Sampel Darah dan Ginjal dibawa ke Laboratorium BBTKLPP untuk Pemeriksaan Leptospirosis dengan metode PCR.
Berdasarkan hasil penangkapan dan pemasangan perangkap selama 2 hari di tiga desa yakni (Desa Gebang, Tlogoboyo dan Tridonorejo), dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kepadatan tikus di Desa Gebang, Desa Tlogoboyo dan Desa Tridonorejo berturut-turut 11%, 9% dan 12%.
2. Jumlah tikus lebih banyak tertangkap di dalam rumah dengan 3 jenis yakni jenis Ratus tanezumi, Rattus norvegicus dan Banmdicota indica.
3. Jenis tikus yang banyak tertangkap adalah Rattus tanezumi pada tiga desa berturutturut sebanyak 7 ekor; 6 ekor dan 10 ekor.
4. Jenis Pinjal yang didapatkan adalah Xenopsylla cheopis dengan indek pinjal khusus di Desa Gebang, Desa Tlogoboyo dan Desa Tridonorejo masing-masing yaitu 0,6 ; 2,2 ; 0,8.
Berdasarkan kesimpulan diatas, dapat disarankan hal-hal sebagai berikut :
1. Bagi masyarakat menjaga kebersihan rumah dan lingkungan pemukiman dari penularan penyakit infeksi seperti leptospirosis. Lingkungan pemukiman tidak digunakan sebagai hbitat perkembangbiakan tikus yang merupakan inang reservoir bakteri leptospira.
2.Kebutuhan Peralatan dan bahan di lapangan untuk diperhatikan
3.Melihat judul kegiatan ada yang perlu di garisbawahi dengan judul kegiatan apakah kepadatan atau keberhasilan penangkapan (trap success) karena keberhasil penangkapan tidak dapat menggambarkan kepadatan tikus di suatu daerah. Mengukur kepadatan tikus harus dengan metode tangkap lepas dan tangkap lagi (capture recapture) dilakukan selama 21 hari dengan penangkapan secara terus menerus.
4.Untuk kegiatan yang dilakukan secara bersama sama di beberapa daerah butuh keseragaman sehingga data dapat dianalisis dengan baik seperti alat, bahan dan kemampuan SDM. Kegiatan koleksi sampel pada survei ini sangat teknis sekali, butuh TOT dan TC apabila nantinya kader yang akan melaksanakan sehingga hasil kegiatan akan mendekati seragam sesuai dengan yang sudah tertulis pada petunjuk teknis
5. Jenis perangkap (bubu) yang digunakan tidak cocok untuk kegiatan yang ada pengukuran keberhasilan penangkapan dan indeks pinjal. Dengan perangkap jenis BUBU beresiko satu perangkap dapat tikus lebih satu ekor (terjadi di Demak kemarin satu perangkap berisi 3 dan 9 ekor) resiko yang didapat bias pada pengukuran indeks pinjal karena dalam rentang waktu semalam, tikus masuk perangkap dan mulai di proses bisa terjadi perpindahan pinjal dari masing masing tikus. Perangkap yang cocok model single life trap
6. Anastesi/pembiusan sebaiknya menggunakan ketamin yang di mix dengan sylla dengan perbandingan dosis 4 ketamin : 3 sylla. Dosis yang diinjeksikan sesuai dengan juknis yang sudah disusun. Keuntungan anastesi menggunakan ketamin sylla pengambilan darah sebagai salah satu sampel terukur dapat lebih maksimal, tikus tidak cepat mati. Pada Juknis sudah menggunakan ketamin sylla tetapi pada list alat bahan yang harus dilengkapi masih ada pilihan antara chloroform dan keta sylla
7.Identifikasi tikus butuh refreshing untuk tenaga kolektor di lapangan
Penulis : M. Pujianto, SKM, M.Kes